DEPOKNET – Menyambut Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang diperingati setiap tanggal 2 Mei, Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Depok mendapat kritikan tajam dari masyarakat terkait belum dilaksanakannya pengadaan Buku Modul Pembelajaran Siswa gratis untuk Sekolah Dasar (SD) Negeri dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) kota Depok untuk Tahun Ajaran 2016/2017.
Disdik kota Depok dianggap masih penuh keraguan untuk menentukan kebijakan terkait pelaksanaan pengadaan buku modul pembelajaran gratis yang dibiayai APBD kota Depok bagi siswa SD dan SMP ini, sehingga pada akhirnya Kepala Sekolah dan Guru yang menjadi “bulan bulanan” masyarakat.
“Ini sudah masuk semester dua, sebentar lagi sudah kenaikan kelas, tapi buku modul gratis yang dijanjikan belum ada juga, kok begini sih kerja pemkot Depok khususnya dinas pendidikan,” ujar Sika Nofi Yani, Ketua Lembaga Ibu Peduli Pendidikan (LIPPEN) kota Depok
Ibu dua orang anak yang salah satunya masih bersekolah di kelas 2 SD ini menyebut, Disdik Depok khususnya Kepala Dinas dan jajarannya yang terkait kegiatan pengadaan buku modul gratis ini tampaknya hanya “mencari aman” karena tidak mau ambil resiko mengingat banyak kejadian pengadaan barang/jasa yang berujung pada tindakan pidana karena adanya laporan dari masyarakat.
Ditambahkannya, jika Disdik sudah memiliki perencanaan yang matang dan terukur serta sudah sesuai aturan yang ada, harusnya tidak perlu takut akan ada pelaporan atau bersikap paranoid kalau pengadaan buku modul gratis ini bakal jadi kasus seperti pengadaan seragam sepatu tahun 2015 lalu.
“Saya malah jadi curiga, sebenarnya Disdik Depok belum siap melaksanakan pengadaan Buku Modul gratis ini, dan akhirnya siswa yang jadi korban karena kegiatan belajar mengajar tanpa arahan buku yang jelas,” sebut Sika
Kepala Dinas Pendidikan kota Depok, Muhammad Thamrin pernah menjelaskan bahwa posisi anggaran kegiatan pengadaan buku modul gratis ini bukan berada di dinas pendidikan, namun di masing-masing sekolah melalui dana fasilitasi penyelengaraan dana pendidikan atau yang biasa disebut dengan Bantuan Operasional Sekolah Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (BOS APBD).
Dalam BOS APBD kota Depok Tahun Anggaran 2017, BOS SD yang awalnya Rp 35.000,- ditambah Rp 10.000,- menjadi Rp 45.000,-, sedangkan untuk SMP yang awalnya Rp 90.000,- ditambah Rp 5.000,- menjadi Rp 95.000,-. Dijelaskan pula oleh Kadisdik, untuk pengadaan buku modul ini nantinya masuk ke kegiatan Belanja Barang dan Jasa dengan kode Rekening Barang Cetakan.
“Anggarannya nanti ada di sekolah masing-masing, ini berarti yang bertanggung jawab adalah Sekolah sendiri, ini kan sama halnya dengan anggaran untuk cetak amplop atau kop surat sekolah dan selama ini kita (Disdik) gak pernah ikut campur urusan seperti itu di sekolah,” papar Kadisdik beberapa waktu lalu
Namun faktanya, hingga hari ini anggaran tersebut belum juga diturunkan ke sekolah karena diduga ada upaya yang dilakukan untuk menyeragamkan cetakan buku modul pembelajaran siswa ini dan tidak diserahkan kepada masing-masing sekolah. Upaya itu tak ubahnya seperti pengadaan Lembar Kegiatan Siswa (LKS) yang selama ini pernah beredar.
Tarik ulur kepentingan pun diduga terjadi ketika upaya penyeragaman cetakan buku modul ini akan dilakukan, baik dari pengusaha penyedia jasa cetakan, maupun muatan kepentingan dinas pendidikan sendiri dan pihak-pihak lainnya, sehingga pelaksanaan pengadaan buku modul pembelajaran gratis bagi siswa SD dan SMP ini belum juga teralisasi hingga saat ini.
“Siapa yang mau bertanggung jawab coba kalau sudah seperti ini, siswa SD dan SMP di Depok terancam krisis buku tahun pelajaran ini, dan bisa berimbas kepada mutu pendidikan di kota Depok,” pungkas Sika sambil membenarkan letak kacamatanya.
Sebelumnya LIPPEN juga meminta kepada Pemerintah Kota Depok untuk mengganti program Studi Tour di Sekolah. Sebab katanya, telah terjadi perubahan makna studi tour yang sebenarnya. Studi tour yang seharusnya memiliki esensi utama sebagai pembelajaran malah mengalami pergeseran menjadi kegiatan rekreasi dan strategi bisnis semata antara pihak sekolah, dinas dan pengusaha travel wisata.
Sika mengatakan, studi tour bukanlah suatu metode yang wajib untuk dilaksanakan, namun yang terjadi sering dijadikan pola intimidasi halus kepada siswa dimana tak jarang studi tour disebut sebagai syarat kelulusan karena setiap siswa diwajibkan membuat laporan studi tour. (CPB/DepokNet)