DEPOKNET – Pemerintah Kota Depok dipastikan telah menetapkan upah minimum sektor padat karya atau Garmen sebesar Rp 1,4 juta. Keputusan itu diambil berdasarkan hasil rapat yang dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri, dan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan. Selain itu, turut hadir wali kota dan bupati di Jawa Barat, Kepala BKPM, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), serta perwakilan serikat pekerja.
Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) kota Depok, Diah Sadiah berpendapat, secara umum tingkat perekonomian nasional saat ini memang sedang lesu. Industri Garmen di Depok juga terkena imbas, maka kebijakan ini diambil oleh pemerintah kota salah satunya agar perusahaan tidak memecat para pekerja.
“Di Depok saat ini terdapat tujuh perusahaan garmen yang total memiliki 10 ribu pekerja, kami tidak ingin ada PHK, makanya opsi upah khusus ini menjadi alternatif terbaik agar mereka bisa terus bekerja,” ungkap Diah
Ditambahkannya, setelah Apindo menyampaikan kondisi seluruh perusahaan garmen di Jawa Barat yang terancam gulung tikar karena omzetnya semakin turun. Untuk itu, jika pemerintah tidak segera turun tangan, dan upah buruh tetap mengikuti UMP Provinsi atau Kota, maka dipastikan bakal terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal di perusahaan garmen.
Ketetapan upah khusus perusahaan garmen yang diberlakukan oleh Pemerintah Kota Depok ini sangat mengejutkan bahkan diluar akal sehat. Bagaimana mungkin upah khusus untuk buruh di perusahaan garmen adalah minimal Rp 1,4 Juta perbulan, sangat jauh lebih kecil dibandingkan Upah Minimum Kota (UMK) Depok Tahun 2017, yang nilainya Rp3.297.489 perbulan.
Buruh Menolak Dan Siap Melawan
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja Nasional (DPP SPN) Iwan Kusuma menyatakan, menolak dengan keras dan tegas terkait dengan rencana pemerintah akan memberlakukan ketetapan upah minimum khusus untuk perusahaan garmen.
Iwan Kusuma menjabarkan, pertemuan yang di claim sebagai rapat penetapan upah yang dihadiri wakil presiden, menaker, gubernur Jabar dan lain sebagainya itu bukanlah ajang legitimasi untuk menetapkan upah minimum khusus untuk tenaga kerja sektor padat karya atau Garmen.
Pertemuan itu menurut informasi yang diterima pihaknya, hanya baru membahas persoalan-persoalan terkait industri khususnya adi sektor padat karya, dan sama sekali belum merujuk kepada sebuah keputusan final upah minimum khusus garmen, jadi jelas belum ada legitimasi secara formal sesuai mekanisme peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“kalaupun saat ini disebut Pemkot Depok sudah menetapkan Rp 1,4 juta, itu dasar petimbangannya adalah apa, hati-hati ambil keputusan,” tegas Iwan Kusuma kepada DEPOKNET, Jumat sore (14/07/2017)
Sebab menurutnya, upah itu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang 13 tahun 2013 terdiri dari Upah minimum provinsi, upah minimum sektor provinsi, upah minimum kabupaten/kota, dan upah minimum sektor kabupaten/kota.
Diluar daripada upah-upah tersebut, ada yang namanya struktur skala upah. Dan ketika berbicara upah minimum sektoral baik provinsi maupun kabupaten/kota, maka nilainya harus diatas upah minimum provinsi maupun kabupaten/kota.
Apalagi yang namanya struktur skala upah, Iwan Kusuma mengatakan hal itu harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan dua pihak yakni serikat pekerja dan Perusahaan atau melalui perjanjian kerja bersama.
“Maka bagi kami, apapun hasil pembicaraan antara wakil presiden, menaker, gubernur Jabar, Apindo, BKPM dan sebagainya itu bukanlah satu-satunya rujukan untuk menetapkan upah minimum sektor padat karya atau Garmen seenaknya,” ucapnya
Iwan Kusuma yang didampingi oleh Ketua DPC SPN kota Depok, Buya Fauzi mengatakan, selama ini Pengusaha sudah diberikan keleluasaan dengan lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 78 tahun 2015, maka kenaikan upah itu tidak lebih dari 8,25 persen.
Sementara buruh sudah dari sejak awal meminta untuk dikembalikan kepada Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 agar penetapan upah minimum harus didasari pada kebutuhan hidup layak, pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Tapi nyatanya selama dua tahun ini hanya didasarkan kepada pertumbuhan ekonomi dan inflasi saja.
“Artinya pengusaha sudah di nina bobokan oleh PP Nomor 78 tahun 2015 tadi, terus kalau sekarang ada permasalahan di sektor padat karya, itu seharusnya tidak menjadi persoalan dengan lantas secara brutal menetapkan upah jauh dibawah upah minimum provinsi atau kota,” tutur Iwan Kusuma
Seluruh buruh garmen di kota Depok dipastikan bakal menolak penetapan Rp 1,4 juta perbulan ini, sebagaimana contoh, pada akhir bulan Juni 2017 lalu, ratusan pekerja PT Kaisar Laksmi Mas yang didominasi perempuan itu menggelar aksi mogok bekerja. Hal ini dipicu sikap perusahaan yang belum juga memberikan THR hingga hari terakhir bekerja sebelum libur lebaran.
Alasan perusahaan tidak bisa membayar karena pendapatannya berkurang. Namun demikian, pekerja tidak percaya alasan pendapatan perusahaan berkurang. Soalnya, ratusan karyawan tetap diminta bekerja pada hari libur tanpa uang lembur. Buruh bekerja mulai pagi hari, bisa pulang pagi keesokan harinya, tapi itu tidak dihitung lembur. Yang lebih parah di akhir pekan. Mereka diminta bekerja dan hanya diberi imbalan nasi dan telur.
“Kalau untuk THR yang hanya berlaku 1 bulan mereka menolak keras, bagaimana dengan UMK yang akan berlaku sepanjang tahun,” sindir Buya Fauzi. (CPB/AM/DepokNet)